TENTANG PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
BAB 1
Pendahuluan
Latar Belakang
Kemunculan bank-bank syariah dan
lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya di Indonesia ini merupakan fenomena
menarik yang kehadirannya tidak terlepas dari pengaruh beberapa faktor.
Pertama, kepercayaan kaum Muslimin bahwa di samping sebagai sebuah agama dalam
pengertian sebuah sistem kepercayaan.
Meskipun Indonesia terlambat
dibandingkan dengan negara-negara lain dalam memulai praktik keuangan syariah,
namun perlahan tapi pasti Indonesia menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik.
Dalam industri perbankan syariah, misalnya, secara kualitatif maupun
kuantitatif menggambarkan performa yang lebih baik. Jumlah bank umum yang
menawarkan layanan syariah di Indonesia melebihi Malaysia.
Namun demikian, harus
diakui, dalam hal tertentu masih terdapat beberapa kendala fundamental yang
dihadapi para praktisi ekonomi syariah dalam aplikasi teori dan konsep fikih
muamalah yang menjadi landasan hukum Islam atas produk dan transaksi yang ada.
Hal ini berbeda sangat jauh dibandingkan dengan rumusan hukum fikih muamalah
yang digunakan oleh Malaysia dalam mendukung dan mempromosikan lembaga keuangan
syariah. Bahkan, dalam kadar tertentu, rumusan hukum yang dikeluarkan sangat
“liberal” dibandingkan dengan putusan hukum yang dikeluarkan oleh ulama Timur
Tengah.
Malaysia mencoba
menyinergikan antara aspek pragmatis-ekonomis dan idealis-normatif. Artinya,
aplikasi teori fikih muamalah disesuaikan dengan kebutuhan riil masyarakat di
lapangan. Oleh karena itu, tawaran kerangka dasar fikih muamalah ala Indonesia
mendesak untuk segera dirumuskan.
Satu hal yang menjadi
pertimbangan serius dalam kerangka perumusan fikih muamalah ala Indonesia tidak
bisa dilepaskan dengan teks atau nash yang berkaitan dengan muamalah.
Berbeda dengan nash yang
berhubungan dengan keluarga, misalnya, di mana nash yang tersedia relatif cukup
rinci. Dalam masalah muamalat, sangat sedikit nash yang membicarakannya. Hal
ini menjadi indikasi bahwa dalam muamalat dibutuhkan fleksibilitas, sesuai
dengan perkembangan, zaman, kondisi, situasi, ruang, dan waktu.
Kehadiran Dewan Syariah Nasional
sebagai lembaga yang menetapkan standar hukum syariah dan mengaudit operasional
perbankan syariah di Indonesia dari aspek hukum syariah dapat dianggap sebagai
salah satu sarana sosialisasi sekaligus aplikasi dan implementasi hukum Islam
di Indonesia dalam bidang muamalah.
BAB II
PEMBAHASAN
Fatwa-fatwa DSN Tentang Perbankan Syariah Dewan Syariah Nasional
mengeluarkan fatwa-fatwa atas
jenis-jenis kegiatan keuangan beserta produk dan jasa keuangan syariah. Sejak
awal didirikan pada tahun 1999 hingga tahun 2001, secara umum fatwa-fatwa
tersebut dikelompokkan menjadi tiga bagian, pertama, kelompok fatwa untuk
kegiatan transaksi yang dilakukan oleh perbankan syariah, baik dalam
penghimpunan dana, penyaluran dana (pembiayaan) maupun jasa-jasa perbankan.
Kedua, kelompok fatwa untuk kegiatan akuntansi pada perbankan syariah. Ketiga,
kelompok fatwa untuk investasi syariah. Dalam hal ini penulis hanya akan
mengkaji fatwa DSN dalam hal kegiatan transaksi yang dilakukan oleh perbankan
syariah.
A. Fatwa Tentang Giro
Dalam
fatwanya DSN memutuskan dua jenis giro dengan status hukumnya masing-masing. Pertama,
giro yang berdasarkan perhitungan bunga yang secara syariah tidak dibenarkan.
Kedua, yang dibenarkan secara syariah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip
mudhârabah, dan wadîah, atau fatwa mengharamkan giro konvensional yang
didasarkan atas bunga dan memberikan alternatif kepada bank syariah untuk
memberikan layanan giro kepada nasabahnya baik mendasarkan pada akad wadiah
ataupun mudharabah.
1. Giro berdasarkan bunga
Giro jenis pertama yang didasarkan atas perhitungan
bunga disimpulkan oleh Dewan sebagai sesuatu yang tidak dibenarkan secara
syariah.
Penetapan status hukum ini di-dasarkan atas Q.s. al-Nisâ’
[4]: 29
Hai orang yang beriman! Janganlah kalian
saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu.
Dalam ayat tersebut larangan memakan harta secara
batil diungkapkan melalui lafal nahi.
Lafal nahi dalam ayat tersebut dipahami oleh Dewan
sebagai hal yang menunjukkan pada keharaman, sebagaimana kaidah: Pada dasarnya
lafal nahi menunjukkan pada haram.
Namun sayangnya Dewan tidak
mem-berikan penjelasan lebih lanjut pemahaman dari ayat tersebut dalam
keputusannya, terutama pengertian lafal bâthil. Lafal bâthil dalam ayat inimerupakan
lafal ‘am yang mencakup di dalamnya transaksi ribawi yang juga dilarang
Alquran. Hal ini juga sejalan dengan penafsiran Ibn al-Arabî al-Mâliki dalam
kitabnya
Ahkâm al-Qur’ân yang memasukkan riba dalam pengertian batil
karena dalam ribapenambahan dipersyaratkan tanpa adanya satu transaksi pengganti
atau penyeimbangyang dibenarkan Demikian pula Imam al-Razi menyatakan transaksi
yangmelibatkan bunga sama halnya dengan memakan harta orang lain secara bathil.
Salah satu pihak menerima kelebihan tanpa mengeluarkan apa-apa, hal ini tentu
menimbulkan ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan.Bahkan Ibn Timiyah
memasukkan unsur memakanharta orang lain secara batil ini sebagai salah satu
illat diharamkannya riba di samping illa tadanya unsur kezaliman dalam
transaksi ribawi.
Unsur batil ini dilarang karena menimbulkan
mafsadatdi mana dalam giro konvensional keuntungan bunga dijanjikan di muka
tanpa mempertimbangkan resiko usaha sehingga apapun keadaannya, untung maupun
rugi, pihak bank harus memberikan keuntungan bunga yang dipersyaratkan tersebut.
Hal initentunya juga memberikan implikasi kepada pihak ketiga yang mendanai usahanya
denganfasilitas kredit bank tersebut, berupa kewajiban membayar bunga kredit
yang tentunya lebih tinggi dibandingkan bunga simpanan. Bank dapat menikmati
keuntungan spreadbungatanpa menanggung resiko usaha.
Padahal dalam Islam perolehan
keuntungan usaha hanya dapat diklaim jika disertai oleh kesediaan menanggung
resiko. Sebagaimana kaidah:Keuntungan diperoleh dengan disertai kesediaan
menanggung resiko.Berdasarkanalasan-alasan tersebut kiranya sudah tidak relevan
lagi pendapat yang menyatakan bahwa bunga bank tidaklah identik dengan bunga,
dan Dewan telah mengambil keputusan yang tepat tentang masalah ini, meskipun
sangat disayangkan bahwa tidak satupun dalil baik berupa ayat maupun hadis
tentang riba dikutif dalam fatwa ini.
2. Giro berdasarkan wadîah
Berdasarkan giro ini Dewan berfatwa
dengan menggunakan dalil tentang amanah yaitu Q.s. al-Baqarah [2]: 283
Maka jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanahnya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya.
Dalam ayat ini terdapat lafal
amrdalam bentuk fi‘il mudhari‘ yang dimasuki dalam amr sebagai jawab syarat fa‘
dari kalimat sebelumnya. Pada dasarnya lafal amr menunjukkan wajib sebagaimana
kaidahPada dasarnya amr menunjukkan wajib. Namun ketentuan ini berlaku selama
tidak ada qarinah yang memalingkannya kepada makna lain. Dalam ayat ini
terdapat qarinahlain yang menunjukkan bahwa makna lafal ini adalah nadb
(sunnah), yaitu sebelum perintah ini.
Allah mengungkapkan pula kemungkinan lain dari
yang diperintahkan-Nya itu, yang bisa dilakukan pula jika kondisinya sesuai
dengan pilihan tersebut. Pilihan itulah qarînahyang menurunkan bobot pesan
perintahnya, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pesan hukum yang dikemukan
perintah tersebut bukan wajib, tetapi nadb Atas dasar sifatnya yang nadb ini,
maka wadiah termasuk akad yang tidak lazim(mengikat), kedua belah pihak dapat
membatalkan perjanjian ini kapan saja. Karena dalam wadiahterdapat unsur
permintaan tolong, memberikan pertolongan itu adalah hak dari wâdi‘. Jika yang
bersangkutan tidak bersedia, maka tidak ada keharusan baginya untuk menjaga
titipan.
Di samping menggunakan metode bayâni
Dewan juga menggunakan metode ta’lîlîdalam keputusan fatwanya dengan berpegang
kepada illat istihsâniBerdasarkan illat qiyâsi maka seharusnya wadiah yang
dijadikan ashal untuk menganalogikannya dengan giro adalah wadî’ah yad
al-amânah dimanapihak bank sekedar menyimpan dana nasabah untuk tujuan keamanan
dana tersebut sebagaimana illat amanahyang disinggung oleh dalil-dalil di atas
yaitu titipan untuk dijaga dan dipelihara.
Akan tetapi dalam hal ini, fatwa
beralih dari hasil qiyas zhâhir kepada qiyaskhâfi, yakni beralih dari hasil
qiyasyang kuat kesamaan illat-nya dengan ashal, namun kurang kuat relevansinya
dengan kebutuhan sosial, kepada hasil qiyas yang lemah kesamaan illat-nya
dengan ashal, namun kuat relevansinya dengan kebutuhan sosial. Sehingga giro
diqiyaskan kepada wadîah yad al-dhamanahyang dilihat dari sifatnya ber-illat
khafikarena ada sedikit perbedaan dengan illat ashaldalam hal kebolehan penggunaan
harta/barang titipan, namun lebih kuat relevansinya dengan kebutuhan sosial.
3. Giro berdasarkan mudhârabah
Dalam menetapkan hukum giro
berdasarkan mudharabah ini, Dewan menggunakan metode ta‘lilidengan bersandar
kepada illat qiyasiuntuk menganalogikan giro dengan mudhârabah. Namun apabila
karakteristik dari kedua akad ini diperbandingkan maka akan terlihat perbedaan
setidaknya dalam dua hal. Karakteristik giro adalah penitipan dana demi
keamanan dan fleksibilitas waktu pengambilan. Sedangkan karakteristik
mudharabah adalah penyertaan dana dalam suatu usaha untuk memperoleh keuntungan
dengan kemungkinan menanggung resiko.
Dari segi waktu penarikan, sifat
giro yang memungkinkan penarikan dilakukan setiap saat tidak dapat diqiyaskan
kepada akad mudhârabah yang menghendaki adanya suatu rentang waktu tertentu
untuk memutar dana agar menghasilkan keuntungan. Dari segi jaminan dana,
karakteristik wadiah sebagai akad dhamânahadalah menjamin seratus persen dana
yang dititipkan, Jaminan pertanggungjawaban tidak diminta dari peminjam yang
tidak menyalahgunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap
titipan tersebut.
Hal ini tentu tidak dapat diqiyaskan
kepada mudharabah yang menghendaki sang shahibul mal menanggung resiko kerugian
dari dana yang dinvestasikannya tersebut. Maka dalam hal ini fatwa Dewan yang
meng qiyaskan giro kepada mudhârabah tidaklah tepat karena adanya perbedaan
illat antara ashal dengan furu‘.Inilah salah satu jenis qiyas yang disebut
olehYusuf Qaradhâwi sebagai qiyas yang tidak pada tempatnya.
B. Fatwa Tentang murâbahah
Fatwa mendefinisikan murâbahah sebagai “menjual suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga
yang lebih sebagai laba” Dalam menetapkan kebolehan murabahah ini Dewan
menggunakan metode bayani dengan berdalil Q.s. al-Baqarah [2]: 275), sebagai
berikut:
Dan
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Dalam ayat
ini lafal al-bai‘ adalah isim mufradyang di ta‘rif-kan dengan al-jinsiyahOleh
karena itu ia merupakan lafal ‘am yang mencakup seluruh satuan-satuannya yang
dapat dimasukkan ke dalam pengertian al-bai’ termasuk bai al-murabahah
ini.Namun demikian sebagai lembaga keuangan, berdasarkan peraturan yang ada, bank
tidak dimungkinkan berfungsi pula sebagai retailer dengan memiliki persediaan
barang untuk dijual. Maka dalam praktiknya yang diterapkan bukanlah murabahah
murni tetapi murabahah kepada pemesan pembelian.
Imam Syafi‘i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah murâbahah al-amir
bi al-syira‘ (murabahah to the purcaseorderer).Dalam murabahah jenis ini dua
pihak atau lebih saling bernegosiasi dan berjanji untuk melaksanakan
kesepakatan di mana pemesan meminta pembeli membeli asset yang selanjutnya akan
dibeli oleh pemesan dengan harga pokok ditambah keuntungan.Pada dasarnya
murabahah yang lazim digunakan dalam praktik perbankan adalah murabahah yang
dilakukan secara cicilan (al-bai‘ bi al-tsaman al-ajîl). Penjualan secara
cicilan bukanlah kondisi murabahah. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan di atas,
pembiayaan secara cicilan merupakan motif utama orang bertransaksi dengan bank.
Maka didasarkan atas kebiasaan yang berlaku inilah, fatwa menetapkan
kebolehanmurabahah yang dilakukan secara cicilan. Dalam menetapkan hukum ini
Dewan menggunakan metode istishlahi dengan bersandar pada kebiasaan dunia
perbankan yang melakukan transaksi secara cicilan. Oleh karena kebiasaan ini
tidak bertentangan dengan nas maka ia dianggap sebagai urfshahihah yang dapat
diadopsi. Selain itu jual-beli secara cicilan bukanlah sesuatu yang diharamkan
dalam syariat Islam, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadis:
Dari Shuhaib bahwasanya Nabi saw
bersabda: ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai,
muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan
rumah tangga, bukan untuk dijual.
Meskipun kebolehan akad ini secara cicilan telah ditetapkan dengan
bersandar pada metodologi yang valid, fatwa tetap memberikan aturan dalam
pelaksanaannya agar akad ini, khususnya murâbahah al-amir bi al-syira, yang
melibatkan tiga pihak, pemesan, pembeli, dan penjual, terhindar dari akad
ribâwî.Oleh karena itu dalam salah satu butirnya fatwa ini menyatakan bahwa
‘jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak
ketiga, akad jual beli murâbahah harus dilakukan setelah barang, secara
prinsip, menjadi milik bank’.
Hal ini dikarenakan secara syariah murâbahahmerupakan jual beli yang
sifatnya satu kali (one shot deal), namun dalam perbankan ia menjadi modal yang
digunakan berkali-kali (revolving)Selanjutnya disebabkan karena murabahah
umumnya dilakukan secara cicilan maka fatwa memutuskan kebolehan untuk meminta
jaminan kepada nasabah pembiayaan. Dalam menetapkan hukumini Dewan menempuh
metode bayani dengan bersandar pada Q.s. al-Baqarah [2]: 283, sebagai berikut:
Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang
berpiutang).
Berdasarkan analisa ibarat nas maka disimpulkan kebolehan meminta jaminan
untuk transaksi yang tidak dilakukan secara tunai. Karena bai‘ murabahah bi
tsaman al-ajilini menimbulkan hutang antara nasabah pembiayaan dengan bank,
maka bank berhak meminta jaminan kepada sang nasabah tersebut.Sebagai salah
satu jual beli yang dilakukan dengan penangguhan pembayaran, murâbahah memang
mengandung kemungkinan dibatalkannya akad oleh nasabah. Untuk mengantisipasi
hal ini, Dewan menfatwakan kebolehan bank meminta nasabah untuk membayar uang
muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
Uang muka yang boleh diminta oleh bank syariah dapat didasarkan atas akad
Hamisy Jidyahataupun akad Arbun.Hamisy Jidyahmerupakan sejumlah uang (muka)
yang dibayar oleh pemesan pembelian atas permintaan dari pembeli untuk memastikan
bahwa pemesan serius dengan pesanannya. Jika pemesan membatalkan pembelian
barang tersebut, maka hamisy jidyahakan dikembalikan setelah dikurangi kerugian
riil yang ditanggung bank akibat pesanan ini yang ternyata dibatalkan.Sedangkan
arbunmerupakan sejumlah uang yang dibayarkan di muka kepada pembeli, jika
pembeli memutuskan untuk meneruskan transaksi dan membeli barang, maka uang
arbun yang telah diserahkan tersebut akan diperhitungkan sebagai bagian dari
harga, namun jika pembelian dibatalkan maka uang arbun menjadi hak penjual
sebagi hibah dari pembeli.Dalam menetapkan kebolehan akad arbunini fatwa melakukan
metode bayani dengan bersandar pada hadis:
Dari Zaid bin Aslam bahwasanya
Rasulullah saw ditanya tentang ‘urbun (uang muka) dalam jual beli, maka beliau
menghalalkannya.
Jika dianalisa dengan metode ibarat nas maka jelas hadis ini memberikan
pengertian kebolehan ‘urbun. Namun demikian jika ditelusuri literatur tentang
‘urbun ini maka terdapat hadis lain yang bertentangan maknanya dengan hadis di
atas:Dari Umar bin Syu‘aib ia berkata: Nabi saw melarang jual beli (dengan
metode) ‘urbun.Apabila diselidiki segi tsubûthadis-hadis tersebut, maka
keduanya merupakan hadis dha‘if.
Hadis pertama merupakan hadis mursal karena di dalam sanadnya terdapat
Ibrahim ibn Abi Yahya yang merupakan perawi yang lemah.Sedangkan hadis kedua
merupakan hadis munqathi karena dalam rangkaian sanadnya terdapat seorang rawi
yang tidak dikenal. Terhadap dalil-dalil yang saling betentangan ini, apabila
menggunakan metode Jumhur, maka metode pertamayang ditempuh adalah al-jam‘ wa
al-taufîq, namun karena kedua hadis saling menunjukkan hukum yang bertentangan,
maka metode ini tidak mungkin dilakukan.
Karenanya digunakan metode selanjutnya yaitu tarjîh atau ‘pernyataan akan
adanya nilai tambah pada salah satu dari dua dalil yang sederajat, di mana
nilai tambah itu bukan berupa dalil yang mandiri’.Maka dalam hal ini Dewan
men-tarjîh hadis pertama dengan bersandar kepada dua metode. Pertama, maslahat,
untuk mendatangkan manfaat agar nasabah ber sungguh-sungguh dengan akad
tersebut dan menghindari mafsadat (sad al-dzarî’ah) agar bank tidak menanggung
sendiri kerugian yang diakibatkan oleh ketidaksungguhan nasabah dalam
bertransaksi. Kedua, mengadopsi ‘urf tijaryyang telah lazim dipraktikkan dunia
perbankan, meminta uang muka terhadap kebanyakan transaksi yang dilakukan tidak
secara tunai. Namun demikian Dewan memodifikasi ‘urbunini dengan sedikit
merubah ketentuannya sehingga menjadi:
a.
Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut,
ia tinggal membayar sisa harga;
b.
Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik
bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan
tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi
kekurangannya.
Pada dasarnya pendapat Dewan ini bukanlah
sesuatu yang baru. Kontroversi serupa ini telah terjadi di kalangan ulama.
Mazhab Hanabilah dengan bersandar kepada hadis pertama membolehkan urbun karena
hal ini telah menjadi kebiasaan yang dipraktikkan manusia dalam muamalah mereka
di berbagai tempat dan masa. Adapun Jumhur dengan berpegang kepada hadits kedua
melarang praktik ini karena mengandung unsur gharar dan termasuk perbuatan
memakan harta orang lain secara batil.Sementara Ibn Sirin, dan Ibn Musayyab
serta Ibn ‘Umar membolehkannya apabila nasabah tidak merasa cocok dengan
barang, uang urbun dikembalikan setelah dikurangi kerugian riil.
C. Fatwa Tentang Pembiayaan Mudhârabah
Dalam menetapkan mudharabah ini Dewan menggunakan metode bayâni dengan
bersandar kepada hadis:
Abbas ibn Abd al-Mutâhlib jika
menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar
tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan
ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung
resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah,
beliau membenarkannya. (Thabrani dari Ibn Abbas).
Dari analisa ibarat nash ini dapat ditarik pengertian bahwa mudharabah dibolehkan,
bahkan mudharabah muqayyadah juga diperkenankan. Selain itu Dewan juga
bersandar kepada hadis:
Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang
meng andung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur
gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual. (ibn
Majah dari Shuhaib).
Dari analisa ibarat Nash dapat ditarik kesimpulan bahwa mudharabah bukan
saja dibolehkan bahkan diberkahi. Karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah
(yad al-amanah)maka dalam mudharabah tidak ada ganti rugi. Masing-masing pihak
berkontribusi sesuai fungsinya, shâhib al-mâldengan hartanya dan mudharibdengan
tenaga/skill dan waktunya.
Apabila terjadi keuntungan keduanya
berhak atas nisbah keuntungan sesuai kesepakatan. Adapun dalam hal terjadi
kerugian, bank selaku shâhib al-malmenanggung kerugian modal kecuali jika
mudhâribmelakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
Sedangkan mudhâribmenanggung resiko kehilangan waktu dan tenaganya. Ketentuan
bahwa kerugian akibat normal businessloss harus ditangggung oleh bank selaku
shâhib al-malini mengacu kepada kaidah:Keuntungan harus disertai oleh kesediaan
menanggung resiko. Namun demikian fatwa berupaya memperkecil resiko kerugian
ini dengan membolehkan bank selaku shâhib al-mal meminta mudhâribmenyediakan
jaminan dana pembiayaan tersebut. Bila ditilik kepada ketentuan fikih,
sebenarnya permintaan penyediaan jaminan ini tidaklah diperbolehkan mengingat
bahwa akad ini merupakan akad yang didasarkan atas amanah antara kedua belah
pihak. Dalam hal ini fatwa menggunakan hilah kebolehan shâhib al-mâlmeminta
ganti rugi modal kepada mudhâribapabila kerugian tersebut disebabkan karena
sang mudharib melakukan kesalahan yang disengaja, kelalaian, atau side
streaming sebagai justifikasi terhadap kebolehan meminta jaminan kepada mudhârib.Selaras
dengan fatwanya tentang prinsip distribusi hasil usaha yang akan dijelaskan
lebih rinci di bawah, Dewan menetapkan kewajiban mudhârib untuk menanggung
biaya operasional. Ketentuan ini pada dasarnya akan menimbulkan
permasalahan-permasalahan tersendiri.
Pertama, aturan ini kurang sesuai dengan syariah, karena dalam keadaan
titik impas/Break Even Point(BEP) sekalipun, dana shâhibul malterjamin padahal
prinsip mengatakan no return without risk dan sebaliknya sang mudhâribterpaksa
tidak hanya menanggung kerugian kehilangan tenaga dan waktunya tetapi juga dana
untuk menutupi biaya baik dalam keadaan titik impas maupun kerugian.
Kedua, ketentuan ini akan memperkecil bagian keuntungan yang seharusnya
menjadi hak mudhârib.
Ketiga, biaya yang menjadi tanggungan mudhâribsemata akan menimbulkan efek
inflasi akibat tingginya biaya modal yang turut mempengaruhi tingkat harga
barang dan jasa. Inflasi ini tentu akan berdampak kurang baik bagi perekonomian
makro. Atas dasar itulah seharusnya biaya operasional tidak harus dibebankan
secara eksklusif kepada mudharib, tetapi idealnya dimasukkan ke dalam rekening
mudharabah.
D. Fatwa Tentang Ijârah
Dalam menetapkan hukum kebolehan
ijârah ini, Dewan menggunakan metode bayâni dengan berdalil pada Q.s.
al-Baqarah [2]: 233, sebagai berikut:
Para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara ma›ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka
tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.
Dalam menetapkan hukum kebolehan
ijarah ini dewan men-tarjih pendapat jumhur yang bersepakat atas kebolehan
ijarah dan me-marjuhkanpendapat minoritas yang melarang, antara lain ‘Asham dan
Ibn ‘Aliyyah. Pendapat kedua ini berargumen bahwa transaksi pertukaran hanya
terjadi dengan adanya serah terima antara barang dengan harga pada saat akad.
Sedangkan dalam ijârah manfaat sebagai obyek transaksi tidak ada (belumlah
nyata) ketika akad sehingga termasuk transaksi gharar. Namun argumen ini
terbantahkan bahwa meskipun tidak ada pada waktu akad, tetapi obyek ini, dapat
terpenuhi segera ketika barang itu mulai dimanfaatkan, berdasarkan akad janji
(al-wa‘ad) dari pihak pemberi sewa kepada penyewa akan manfaat yang terkandung
dalam obyek tersebut.
Oleh karenanya Syara‘ memandang
manfaat sebagai obyek transaksi yang diperjanjikan ini termasuk hal-hal yang
dapat terpenuhi dan tidak merusak akad.Bantahan ini pun semakin diperkuat oleh
metode ta‘lîlî yang digunakan Dewan, dengan bersandar kepada illat istihsâni Berdasarkan
qiyas jali, sebagaimana pendapat minoritas, ijarah termasuk akad yang terlarang
karena obyek transaksi tidak ada pada saat akad. Meskipun demikian, Dewan
mengabaikan qiyas jali ini dan beralih kepada qiyas khafi yang membolehkannya
karena ada dalil yang menjustifikasinya yaitu kebutuhan masyarakat terhadap
akad ini dalam rangka memelihara kemaslahatan mereka.
BAB III
.
Penutup
Seiring tumbuhnya bank-bank syariah
di tanah air, maka dibutuhkanlah kehadiran dewan pengawas syariah, selanjutnya disebut
Dewan Pengawas Syariah (DPS) di lembaga-lembaga tersebut untuk mengawasi
operasional bank-bank syariah agar tetap sejalan dengan prinsip syariah serta
sebuah dewan pengawas yang bersifat nasional, yang kemudian disebut Dewan
Syariah Nasional (DSN), untuk menyatukan pendapat dewan-dewan pengawas tersebut.
disamping untuk lebih memberikan
kepastian hukum baik bagi bank-bank syariah tersebut maupun para pengguna jasa
perbankan syariah. Salah satu tugas DSN ini adalah menetapkan fatwa terhadap
produk-produk serta operasional bank-bank syariah.Untuk merumuskan
fatwa-fatwanya, Dewan Syariah Nasional menggunakan ketiga metode istinbath di
atas.
Untuk masalah-masalah yang secara eksplisit
diatur oleh nas, Dewan menempuh metode bayani, seperti untuk fatwa tentang giro
berdasarkan bunga, murâbahah, ijârah, hawâlah, dan wakâlah. Jika terdapat
perbedaan pendapat ulama tentang masalah tersebut, Dewan biasanya melakukan
tarjih dengan mengambil pendapat yang lebih kuat
2 Comments
Mari kita galakkan ekonomi syariah. Bunga kita buang ke tong sampah!
ReplyDeleteSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
ReplyDeleteNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut